Minggu, 07 Maret 2010

MEMBERI PEMAKNAAN HAKIKI PADA KEMERDEKAAN DAN KEMBALI PADA JATI DIRI BANGSA”

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mreka disebabkan perbuatannya”. (Al A’Raf, 7 : 96)

Kata merdeka selalu diartikan sebagai kebebasan. Aktualisasi kebebasan diartikan berarti bertingkah laku sebebas-bebasnya atau berbuat sesuka hati, tanpa norma, tanpa hukum, dan tidak terkait pula pada nilai-nilai tertentu. Kemerdekaan yang diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya adalah pembebasan diri dari seluruh pranata sosial dan budaya yang ada atau disebut juga dengan kebebasan anomali (kebebasan tanpa nilai).
Namun perlu diingat, bahwa kebebasan yang sebebas-bebasnya tidak ada dalam kehidupan manusia yang nyata. Kebebasan anomali hanya dimiliki makhluk lain di luar manusia. Kebebasan yang dimiliki manusia dimana pun berada dan hidup pada zaman kapan pun, selalu terkait dengan tatanan budaya yang ada dalam masyaraakat setempat.
Manusia adalah makhluk yang berbudaya sehingga harus terikat dengan nilai-nilai budaya. Mengapa kebebasan harus tetap terikat? Karena jika seseorang berlaku sesukanya, akan menganggu dan tentu merugikan orang lain, juga anggota yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan masyarakat.
Perlu diingat, bahwa di Negara-negara paling liberal sekali pun, tatanan kebebasan masyarakat tetap terikat pada tata nilai dan hukum. Terlebih dengan Indonesia yang memiliki latar belakang budaya yang kental ber-Bhenika Tunggal Ika, menjadi relatif lebih terikat pada tatanan yang lebih kuat dibanding dengan Negara-negara liberal lainya.
Kita sangat prihatin, dimana nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara sepertinya sudah jauh tergeser dan tergerus dari tatanan budaya ketimuran yang fatsun. Kalau dilihat dari komitmen kebangsaan dan kenegaraan masyarakat dewasa ini, sepertinya sangat menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Jangan-jangan kemerdekaan yang dimaksud adalah tahun 1998 (REFORMASI). Sementara setelah tahun 1945 dipandang sebagai ORDE LAMA dan ORDE BARU saja”.
Demokrasi dipandang sebagai kemerdekaan individual yang hampir-hampir tidak bertanggungjawab, dan tentu tidak bermoral. Kemerdekaan dipandang sebagai kemerdekaan memaki orang, menghantam orang yang lebih tua dengan sesuka-sukanya, yang jelas, tatanan kekeluargaan dan masyarakat yang berbudaya yang telah di tata, dironce dengan apik juga turut luluh lantah sejak reformasi.
Fenomena transisi yang sangat tidak berbudaya dewasa ini, telah membuat para pemimpin dan orang-orang yang telah berjuang membangun bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan, yang kini sudah berusia diatas 70 tahun lebih memilih untuk menyingkir dari kalangan dan bertapa ditengah praja. Mereka sepertinya sudah apatis melihat keadaan Indonesia sekarang ini.
Masyarakat Indonesia seakan tertular dengan virus demokrasi yang sakit “Mengemukakan pendapat atau kehendak dengan cara anarkhis, justru menjadi trend. Bahkan jika tidak anarkhis menjadi sesuatu yang mengherankan”. Oleh karena itu dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-64 ini, dimanfaatkan sebagai momentum untuk memberi pemaknaan hakiki pada kemerdekaan. Karena keadaan dan aktualisasi demokrasi di Indonesia dewasa ini sangat memukul perasaan masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun, adat-istiadat, dan nilai-nilai ketimuran yang elegan. Perilaku itu saat ini dipandang tidak wajar lagi. Semua berlomba untuk berkuasa, berlomba menginjak kepala orang dan memaki orang.
Dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-64, hendaknya kembali pada jati diri bangsa, sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kemerdekaan harus diaktualisasikan dengan nilai-nilai Pancasila dan menghormati tatanan kenegaraan berdasarkan UUD 1945 dan tata hukum serta peraturan yang ada. Demikian juga dengan komunikasi politik yang telah disepakati berdasarkan demokrasi, hendaknya dilakoni dengan nilai-nilai budaya, beradat, bermartabat, berke-iman-an dan fatsun.
Kita berharap agar bangsa Indonesia memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang berdiri diatas heterogenitas budaya, suku, daerah, agama, dan golongan. Kita harus menguatkan sikap inklusivisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna merajut kembali semangat persatuan bangsa. Kita tidak perlu melihat perbedaan sebagai hal yang negatif, perbedaan justru harus kita pandang sebagai hal yang positif karena dapat mendorong sinergi antar budaya yang tentu memperkaya nilai-nilai dalam diri setiap bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar